TAHUN SABAT

by | Jun 9, 2024 | Chaplain | 0 comments

“Dalam terang-Mu, kami melihat terang” (Mz 36:9)

Untuk pertamakali dalam menjalani panggilan sebagai Imam, saya mengambil tahun sabat. Tahun sabat memiliki akar dalam Kitab Suci. Setiap tujuh tahun bangsa Yahudi merayakan Tahun Sabat. Itu adalah perhentian untuk tanah, di mana semua pekerja di ladang berhenti bekerja, hasil bumi menjadi milik umum, hutang dihapus, semua orang Ibrani yang menjadi hamba dibebaskan (Kel. 21:3; 23:11Im. 25:2, 4, 5Ul. 15:1-3). Pengabaian hari raya ini oleh bangsa Yahudi memiliki konsekuensi, pembuangan bangsa ini selama tujuh puluh tahun merupakan hukuman atas kelalaian melaksanakan peraturan ini. Setelah hidup dalam pembuangan mereka dipulihkan (Im. 26:34II Taw. 36:20, 21Neh. 10:31).

Bagi seorang Imam, tahun sabat dimaksudkan untuk beristirahat. Namun bukan berarti tidak berbuat apa-apa. Tahun sabat dipakai untuk menata kembali hidup dan panggilannya. Maka umumnya tahun sabat dipakai untuk menambah pengetahuan dan ketrampilan. Namun yang utama untuk berefleksi dan menata kedalaman diri.

Di tahun sabatikal 2023,  saya ke Melbourne; dan belajar di pusat spiritualitas yang bernama Heart of Life Spirituality Centre. Di tempat itu saya studi tentang Spiritual Direction, namun yang terpenting adalah menata kehidupan saya.

Setelah bekerja selama 22 tahun: di paroki, di seminari, di keuskupan, di Provinsialat dan di Migrant Chaplaincy di Sydney; saya mengalami banyak pengalaman. Kebahagiaan dan kesedihan, kesuksesan dan kegagalan, suka dan duka, kesetiaan dan kelekatan tidak teratur. Dan yang paling dalam adalah, meninggalnya kakak, Sr. M. Antonita dan Ibu saya, Yuliana. Meninggalnya orang yang saya sayangi menimbulkan pertanyaan: “Jika akhir dan akhirnya adalah kematian, untuk apa dan apa makna dari hidupku”. 

 Semua pengalaman itu saya syukuri, namun juga saya refleksikan. Untuk hal-hal negatif saya pelajari pattern-nya. Beberapa aspek berhubungan dengan luka batin di masa kecil yang tidak saya sadari. Saya berefleksi dan setiap Minggu bimbingan rohani dan disertai pengakuan dosa. Saya cukup confident untuk terbuka. Maka saya sangat tersentuh dengan satu frase dari Kitab Suci: “Dalam terang-Mu kami melihat terang”. Kepercayaan yang dalam kasih Allah membuatku berani melihat diri sendiri yang di sana-sini masih ada kelekatan-kelekatan yang tidak teratur.

Di Bulan Desember saya pulang ke Indonesia. Tentu hal pertama saya lakukan adalah bertemu dengan Pater Provinsial. Dan betapa terkejutnya saya ketika diberi perpanjangan sabatikal sampai dengan 1 Juli. Saya sangat bersyukur.

Tentu bagi seorang imam yang berkaul kemiskinan tidaklah pas kalau waktu sabatikal hanya dipakai untuk berlibur saja. Maka saya pakai juga untuk bertemu teman-teman imam untuk bertukar pengalaman. Juga ada kesempatan mendampingi retret 30 hari, di mana saya juga menikmati keheningan. Dan tentu saja, banyak memberi waktu untuk tinggal di rumah, tempat dulu saya dibesarkan.

Saya bersyukur bisa menggantikan Rm. Handoko di CIC selama beliau libur tahunan. Saya tidak sibuk sama sekali. Banyak waktu saya pakai untuk berjalan-jalan di taman-taman yang indah di Sydney, coastal walk, dan tentu saja banyak makan dan bercerita dengan Umat CIC . 

Hatiku penuh syukur. Tidak ada kecemasan. Benar-benar tahun sabat. Dan pelan-pelan saya sudah mendengarkan kembali undangan Tuhan. Undangan untuk melayani kembali dengan penuh kesungguhan dan kesederhanaan.

Tentu saya juga mengucapkan limpah terimakasih kepada Umat CIC. Umat CIC adalalah umat yang paling murah hati dan penuh perhatian yang pernah saya temui. Karena umat CIC-lah saya bisa menjalani  tahun sabat yang berkelas: refleksi, studi intensif di tempat yang sangat baik dan berlibur. Banyak pastor yang tidak seberuntung saya, bisa menikmati tahun sabat dengan baik.

Terimakasih untuk umat CIC Sydney. Kita saling mendoakan. Tuhan memberkati! 

Saudaramu dalam Tuhan,

Rm. Petrus Suroto MSC

Email: petrussuroto@gmail.com

Kategori