Kerendahan Hati-Nya Membuat Kita Memperoleh Kemenangan Sempurna

by | Jan 28, 2023 | Chaplain | 0 comments

“Barangsiapa menjadi milik Kristus Yesus, ia telah menyalibkan daging dengan segala hawa nafsu dan keinginannya.” (Galatia 5:24)

Umat CIC Sydney ytk,

Mungkin kita jarang mendengar istilah “kenosis” . Istilah “kenosis” berasal dari bahasa Yunani. Dalam teologi Katolik, Kenosis menunjuk pada “the self-emptying of Jesus” (pengosongan diri Yesus): Yesus mengosongkan diri-Nya dalam perwujudan-Nya sebagai manusia. Kenosis merupakan bentuk penyangkalan diri, bukan mengosongkan keilahian-Nya maupun menukarkan keilahian-Nya bagi kemanusiaan-Nya. Filipi 2:7 menyatakan kalau Yesus “telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia.” Yesus tidak berhenti menjadi Allah selama pelayanan-Nya di dunia. Namun, Yesus rela mengesampingkan kemuliaan surgawi-Nya terkait hubungan-Nya yang intim dengan Allah. Yesus juga mengesampingkan otoritas atas kemerdekaan-Nya. Selama pelayanan-Nya di dunia, Yesus Kristus sepenuhnya menyerahkan diri-Nya kepada kehendak Bapa.

Sebagai bagian dari kenosis, terkadang Yesus menjalani kehidupan-Nya dengan keterbatasan-Nya sebagai manusia (Yoh 4:6, 19:28). Allah tidak merasakan haus atau letih, tetapi Matius 24:36 berkata, “Tetapi tentang hari dan saat itu tidak seorang pun yang tahu, malaikat-malaikat di sorga tidak, dan Anak pun tidak, hanya Bapa sendiri.” Kita barangkali bertanya-tanya, jika Yesus adalah Allah, bagaimana mungkin Dia tidak mengetahui segala sesuatu, sebagaimana Allah seharusnya (Mzm 139:1-6)? Tampaknya, selama Yesus ada di dunia, Dia melepaskan beberapa sifat keilahian-Nya. Yesus masih tetap kudus, adil, penuh belas kasih, penyayang, penuh kebenaran, dan kasih, tapi untuk beberapa hal, Yesus tidak maha tahu ataupun maha kuasa.

Bagaimanapun, mengenai kenosis, kita seringkali terlalu memusatkan perhatian kepada apa yang Yesus lepaskan. Perlu diingat juga kalau kenosis juga berkaitan dengan apa yang Yesus terima. Yesus menambahkan pada diri-Nya sifat manusia dan rela merendahkan diri-Nya. Yesus meninggalkan kemuliaan di surga untuk menjadi manusia yang akan mati di kayu salib. Filipi 2:7-8 menyatakan, “mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib.” Ini merupakan tindakan kerendahan hati yang terbesar, Allah alam semesta ini rela menjadi manusia dan mati untuk menebus dosa ciptaan-Nya. Karena itu, kenosis adalah doktrin yang menyatakan kalau Yesus Kristus ketika berinkarnasi telah menjadi sama dengan manusia dengan semua keterbatasannya, terkecuali yang terkait dosa; bahwa Dia tidak pernah berdosa.  

Tidak perlu diragukan lagi, bahwa memikirkan “Tuhan”  dalam diri bayi kecil dan tak berdaya itu sangat menakjubkan. Sebenarnya Dia bisa saja memanfaatkan kekuatanNya dan memilih menjadi sebuah bintang dan lain sebagainya. Tetapi Dia memilih seorang bayi: ”Kekuatan yang dinyatakan melalui kelemahanNya”, bahkan itu juga terjadi di kayu salib. Ditunjukkan dengan sangat jelas bagaimana Dia ingin menjalin hubungan yang indah dengan kita. Integritas dan otoritasNya yang tak terukur untuk memanfaatkan kekuatanNya sering diuji. Namun Dia tetap sabar dan tidak menggunakan kekuatanNya tersebut.

Dia bahkan memiliki belas kasihan yang begitu lembut  dalam menghadapi dosa disekelilingNya. Dia menjadi hamba yang murni dan rendah hati, bahkan rela dibantai dan disembelih, tanpa pernah menyerah pada kekuasaanNya untuk mengubah segalanya dalam waktu sekejab. Keren khan ? Hanya Tuhan yang bisa melakukan ini.

Dan meskipun Yesus mengalahkan dosa dan maut di kayu salib, Dia dengan penuh semangat berkomitmen untuk menyakinkan kita untuk berhenti mencintai dosa. Dia ingin mengusir dan melenyapkan dosa dari tengah-tengah kita selamanya, tetapi Dia juga membiarkan proses berjalan dengan sendirinya. Dia  tidak selalu mencampuri proses, malah Dia berdiri untuk menuntun kita menuju tujuan yang kekal. Begitu setianya Dia menanggung penderitaan kita. Dia mengalami penderitaan kita bersama-sama dengan kita.

Ini sangat jelas ditunjukkan ketika Dia disalibkan. Dia tidak menggunakan semacam sarana supranatural untuk memadamkan rasa sakit selama penyaliban-Nya. Dan ketika Dia berseru kepada Bapa untuk menggenapi nubuatan (Mazmur 22) sebagai Mesias yang menderita, Dia masih saja terus mengajar orang-orang, bahkan ketika Dia sekarat. Dan permohonanNya kepada Bapa merupakan tanda di mana Dia benar-benar menanggung segala dosa manusia: “Allahku, Allahku, mengapa Engkau meninggalkan aku? Aku berseru, tetapi Engkau tetap jauh dan tidak menolong aku.” (Mazmur 22:1) Ini adalah cinta yang sangat besar, bahkan sangat tidak terukur! Lalu bagaimana kita bisa berterima kasih kepada-Nya dan membalas cintaNya yang begitu sempurna ini?

Sebagaimana Yesus taat kepada kehendak BapaNya, demikianlah kita. Mulai detik ini hingga ke depan, kita harus mengambil sikap proaktif dalam mengaktualisasi ketaatan kita kepada kehendakNya dalam hidup kita. Tidak ada yang bisa kita berikan kepadaNya karena Dia sudah memiliki segalanya, kita hanya bisa memberikan yang terbaik yaitu KETAATAN kita. Kita harus menjalani hidup dengan Dia dan mengikuti kehendakNya: menjalani kehidupan kita masing-masing dengan penuh ketulusan dan kerendahan hati sesuai dengan tugas perutusan kita di tengah keluarga, komunitas, gereja dan masyarakat. Thomas moore menulis: “Kerendahan hati adalah akar yg rendah dan manis, darinya semua kebajikan surgawi memancar.”  Konfusius menambahkan: ”kerendahan hati adalah dasar yang kokoh dari semua kebajikan.” Tanpa kerendahan hati  tidak akan ada kemanusiaan.

“Barangsiapa menjadi milik Kristus Yesus, ia telah menyalibkan daging dengan segala hawa nafsu dan keinginannya. Jikalau kita hidup oleh Roh, baiklah hidup kita jga dipimpin oleh Roh.” Galatia 5:24-25

Fr. Agustinus Handoko MSC
Chaplain to the Indonesian Community
193 Avoca St, Randwick NSW 2031

Kategori