Renungan 14 Juni 2020

by | Jun 13, 2020 | Chaplain | 0 comments

ENKINDLE THE FIRE OF YOUR VOCATION

Refleksi atas 20  Tahun Imamat

Saya baru saja memperingati 20 tahun imamat. Karena COVID-19 saya tidak bisa retret pribadi tetapi dalam keheningan lock down saya berupaya merenung dengan bacaan rohani dan renungan pribadi. Berikut refleksinya.

Panggilan kepada Pribadi Yesus

Saya tertarik menjadi imam, karena pastor parokiku mengendarai sepeda motor GL-100 yang gagah. Setelah itu ganti dengan mobil jeep wilys atap terbuka. Saat saya sebagai putra altar ikut Pastor Parokiku, naik jeep willys, saya bangga sekali. Saya batinkan dalam-dalam, bahwa saya teratarik menjadi imam karena melihat Romo religius (SJ) yang happy dan baik.

Setelah masuk Seminari, panggilan saya dimurnikan. Dalam rentang sejarah, Allah senantiasa memanggil orang-orang –laki-laki dan perempuan, untuk mengikuti-Nya secara lebih dekat dan mengasihi dengan lebih mesra.  Kami dipanggil untuk mempersembahkan hidup bagi Tuhan, baik dalam hidup monastik maupun kerasulan aktif. Kami dipanggil kepada kekudusan.

Dasar utama dari panggilan kepada hidup bakti adalah mencintai Tuhan. Cinta kepada Tuhan sebagai Pribadi, itulah yang menjadi dasar utama panggilan. Dalam Injil kita bisa membandingkan antara Zakeus dengan Pemuda yang kaya (Mat. 19:16-23). Zakeus mencari Tuhan sebagai pribadi. Badannya yang pendek tidak menghalangi perjumpaan dengan Tuhan. Perjumpaan dengan Tuhan menimbulkan perubahan hati dan pertobatan. Pemuda yang kaya mencari “sesuatu”. Dia tidak tertarik kepada Yesus tetapi oleh ajarannya. Maka ketika diluruskan oleh Yesus untuk menjual segala milik dan mengikuti Yesus, dia menolah karena banyaklah hartanya.

Mengikuti Yesus dan bukan mencari “sesuatu” adalah hal pertama yang senantiasa diingatkan di dalam dalam pertemuan-pertemuan para religius. Kaul-kaul kebiaraan, yaitu kemiskkinan, kemurnian dan ketaatan dimengerti dalam konteks ini, yaitu supaya kita menjadi dekat dengan Tuhan. Religius mengikrarkan kaul kemiskinan, sebab harta benda sering menggagalkan kita untuk setia kepada Tuhan. Kepemilikan diam-diam atas uang dan harta benda, membuat religius berupaya untuk mempertahankannya. Hal ini membuat religius menolak bertugas di tempat yang tidak memberi akses kepada “harta benda”.

Religius yang ditandai dengan sukacita

Jika yang dicari adalah Tuhan, maka ciri utama religius adalah kebahagiaan sebagai ekspresi kasih Tuhan. “Ada religius ada kebahagiaan.” Dan kebahagiaan para religius ini akan membawa efek mempersatukan dalam komunitas religius maupun umat pada umumnya. Namun kebahagiaan religius bukanlah senyum wajib seperti pramugari pesawat. Kebahagiaan adalah sesuatu yang muncul dari hati. Ekspresi dari keyakinan atas penyertaan dan pendampingan Tuhan.

Keletihan: musuh sukacita

Paus menengerai bahwa sebagian  religius yang  tidak bahagia. Dalam kotabah pada hari Kamis Putih 2015, Paus mengurai tiga sebab keletihan imam/religius:

  • Letih karena melayani “orang banyak” (the weariness of people, the weariness of the crowd). Paus menyebutnya sebagai keletihan yang baik dan berbuah. Yesus tidak capai bersama orang banyak, malah mendapatkan semangat baru. Umat mencintai imam-imamnya, dan memberi banyak kesibukan
  • Keletihan karena serangan musuh (the weariness of enemies) Dikarenakan harus mempertahankan diri dan orang lain dari serangan (tertekan karena ada begitu banyak ‘kejahatan’ etc) Dibutuhkan kemampuan untuk tidak ditenggelamkan oleh kejahatan
  • Letih akan diri sendiri (weariness of ourselves):

Bagi Paus ini adalah keletihan yang paling serius dan berbahaya, karena hanya merujuk pada diri sendiri (kecapekan yang berasal dari preokupasi dengan diri sendiri). Dua kecapaian di atas adalah konsekwensi dari pelayanan.

Dalam pertemuan para religius, hal ini diurai lebih dalam. Ada religius yang menjadi capai karena terlalu memuja kebebasan pribadi dan tidak tunduk dan taat kepada pimpinan. Ada yang capai karena bermain-main dengan keduniawian, mau membebaskan diri tetapi juga tidak terlalu mau (wanting yet not wanting). Ada yang capai karena tehnologi informasi yang menguras waktu, tenada dan resources yang dimiliki. Akibatnya banyak religius yang tidak efektif dalam arti waktu dan tenaga tidak dipakai untuk melaksanakan tugas dan perutusan misi Tarekat tetapi sibuk dengan apa yang disenangi saja.

Seni Beristirahat

Religius memerlukan istirahat, religius memerlukan liburan. Tetapi ketika saya menyimak lebih dalam, ternyata liburan yang dimaksud tidaklah liburan dangkal. Untuk mendapatkan istirahat, kita harus bekekerja. Dalam bahasa Paus, gembala yang berbau domba. Misionaris yang kakinya terluka karena pergi dan menemui umatnya. Dalam konteks ini kita bisa beristirahat bersama dengan Tuhan yang kita kenal dan kita cintai.

Bahkan Paus mengutip kata yang sangat menyentuh, “Only love gives true rest. What is not loved becomes tiresome, and in time, brings about a harmful weariness”. Hanya cinta yang mampu memberikan istirahat yang sejati. Orang yang mencintai bisa berlibur saat dia bekerja keras.

Saudaramu dalam Tuhan,

Fr. Petrus Suroto MSC

Kategori