Renungan 10 Mei 2020

by | May 11, 2020 | Chaplain | 0 comments

“AMBYAR”

Minggu ini saya menerima beberapa WA messages yang memberitakan meninggalnya pemusik Didi Kempot.  Saya agak bingung. Jarang tinggal di Jawa Tengah, membuat saya tidak begitu mengikuti lagu campur sari. Namun ketika di koran KOMPAS, Rm. Sindunatha SJ menulis obituari tentang Didi Kempot, pastilah beliau yang berpulang orang yang besar. Maka saya googling dan lihat di youtube tentang Didi.

Dia bernama Dionisius Prasetya. Sejak tahun 1983 menjadi pengamen jalanan. Kata Kempot berarti Kelompok Pengamen Trotoar. Kariernya yang dibangun dari bawah menjadi terang benderang saat menyanyikan lagu Stasiun Balapan. Dan sejak itu dia menjadi terkenal. Sekarang ini konser-konsernya selalu ämbyar”dalam arti pecah dan gempita. Youtube saat dia menyanyi dilihat jutaan orang. Dia diberi gelar “The Lord of Ambyar”.

Oh ya, Ambyar itu berarti hancur berkeping-keping. Tema-tema lagunya memang kebanyakan bicara tentang patah hati. Dia banyak menyentuh hati banyak orang. Maka dibentuklah Kempoters, Sad boys, Sad Girls dan The Godfather of Broken Hearts atau Bapak Patah Hati Nasional. Dia sangat terrkenal dan juga di kalangan milenial.

Di tengah kejayaan dan keterkenalannya itu, dia meninggal.

Ambyar, itulah realitas hidup manusia yang rapuh. Di tengah COVID 19 ini banyak perusahaan yang ambyar. Namun sebelum ambyar, Didi Kempot sempat melakukan banyak kebaikan. Antara lain membuat konser dari rumahnya, dan terkumpul 7,6 milyar rupiah untuk disumbangkan kepada para penderita akibat COVID 19.

Pepatah lama mengatakan vanitas vanitatum, omnia vanitas, sic transit gloria mundi—kesia-siaan dari segala kesia-siaan, semuanya sia-sia, demikianlah kemuliaan dunia akan berakhir.

Namun sebagai orang beriman, kita tidak boleh menjadi begitu melancholic. Karena kita hidup dari iman kita. “Jangan gelisah hatimu, percayalah kepadaKu, di rumah Bapaku ada banyak tempat tinggal”. (Lih. Yoh 14:1-2). Yesus menjadi patokan hidup kita, karena bukankah hidup Yesus juga ambyar di kayu salib?  Namun ambyar bukanlah akhir dari kehidupannya. Dia bangkit! Lihat, penderitaannya mendatangkan kebangkitan.

Didi sangat bangga dengan karya-karyanya. Kitapun juga diingatkan yang sama. Sebelum hidup duniawi kita ambyar, mari kita melakukan yang terbaik. Dan yang terbaik adalah hidup kita dipersatukan dengan misteri hidup Yesus. Maka kita perlu menjadikan Yesus sebagai “jalan, kebenaran dan hidup” (Lih Yoh 14:1-12).

Hidup manusia itu seperti air hujan di atas lautan. Sebagian di antara mereka, berkilau, merefleksikan sinar matahari.

Saudaramu dalam Tuhan,

Fr. Petrus Suroto MSC

Kategori