Keletihan: Musuh Sukacita

by | Jul 9, 2022 | Chaplain | 0 comments

“Only love gives true rest. What is not loved becomes tiresome, and in time, brings about a harmful weariness”. Pope Francis, 2015.

Pernahkah anda merasa kelelahan? Atau bahkan stress? Atau jangan-jangan mengalami depresi? Kelelahan dan keletihan adalah dua hal yang harus diatur. Paus Fransiskus menengerai bahwa sebagian  imam dan religius tidak bahagia. Padahal kebahagiaan bagi seorang imam/religious sangat penting bagi kehidupan iman. Bagaimana seorang imam yang tidak bahagia bisa menyampaikan kabar gembira kepada umat?

Berbagai Keletihan

Dalam kotbah pada hari Kamis Putih 2015, Paus mengurai tiga sebab keletihan imam/religius:

  • Letih karena melayani “orang banyak” (the weariness of people, the weariness of the crowd). Paus menyebutnya sebagai keletihan yang baik dan berbuah. Yesus tidak capai bersama orang banyak, malah mendapatkan semangat baru. Umat yang mencintai imam-imamnya, akan memberi banyak kesibukan.
  • Keletihan karena serangan musuh (the weariness of enemies). Paus mengatakan keletihan ini dikarenakan harus mempertahankan diri dan orang lain dari serangan. Misalnya seorang imam yang harus mempertahankan diri dari tuduhan pelanggaran pelecehan kepada anak-anak yang sebenarnya tidak dilakukan. Tuduhan-tuduhan seperti ini sangat melelahkan dan memakan energi, mengurangi self-confidence dan mencuri kebahagiaan.
  • Letih akan diri sendiri (weariness of ourselves):

Bagi Paus ini adalah keletihan yang paling serius dan berbahaya, karena hanya merujuk pada diri sendiri (kecapaian yang berasal dari preokupasi dengan diri sendiri). Dua kecapaian di atas adalah konsekuensi dari melayanani orang banyak dan karena musuh sebagai konsekuensi dari mempertahankan kebenaran.

Ada religius yang menjadi capai karena terlalu memuja kebebasan pribadi dan tidak tunduk dan taat kepada pimpinan. Ada yang capai karena bermain-main dengan keduniawian, mau membebaskan diri tetapi juga tidak terlalu mau (wanting yet not wanting). Ada yang capai karena teknologi informasi yang menguras waktu, tenaga dan resources yang dimiliki. Akibatnya banyak religius yang tidak efektif dalam arti waktu dan tenaga tidak dipakai untuk melaksanakan tugas dan perutusan misi Tarekat tetapi sibuk dengan apa yang disenangi saja. 

Seni Beristirahat

Religius memerlukan istirahat, religius memerlukan liburan. Tetapi ketika saya menyimak lebih dalam, ternyata liburan yang dimaksud bukanlah liburan dangkal. Untuk mendapatkan istirahat, kita harus bekerja. Dalam bahasa Paus, gembala yang berbau domba. Misionaris yang kakinya terluka karena pergi dan menemui umatnya. Dalam konteks ini kita bisa beristirahat bersama dengan Tuhan yang kita kenal dan kita cintai.

Bahkan Paus mengutip kata yang sangat menyentuh, “Only love gives true rest. What is not loved becomes tiresome, and in time, brings about a harmful weariness”. Hanya cinta yang mampu memberikan istirahat yang sejati. Orang yang mencintai bisa berlibur saat dia bekerja keras.

Dan bagaimana kita bisa memupuk cinta dalam hati kita? Seni melihat, seni memandang. Sering kita harus memelankan langkah. Kemudian memandang perbuatan Tuhan yang nyata dalam kehidupan kita.  Dan ketika menemukannya, kita menikmati lagi. Ini akan menjadi bahan bakar untuk memanaskan cinta dalam hati. Dan bila cinta dalam hati, cinta universal maksudnya, menyala; pada saat itu kita bisa hidup berpengharapan. Kita bekerja serius: kini dan di sini, serentak bisa beristirahat karena percaya akan Tuhan yang bekerja bersama kita. 

Bagi anda, yang walaupun bukan religious, merasa letih dan lelah karena pelayanan, pengabdian atau memikul tanggung jawab, mari kita belajar seni beristirahat ini. 

Saudaramu dalam Tuhan
Fr. Petrus Suroto MSC

Kategori