Family: A Treasure for Growth of Love

by | Mar 13, 2022 | Chaplain | 0 comments

Dalam satu kesempatan, saya mengadakan sharing dengan Keluarga-keluarga Medior. Saya sebut medior karena usia perkawinan mereka tidak lagi muda (0-15 tahun) tetapi sudah di angka 15-25 tahun. Mereka sudah dan bahkan sedang dihajar dengan berbagai macam kesulitan dalam hidup perkawinan. Bahkan ada yang mengungkapkan kalau pengalaman mereka disharing kepada generasi muda, jangan-jangan mereka tidak mau menikah. Salah seorang sahabat yang ikut sharing, agak jengkel dengan saya, dan setelah beberapa hari mengatakan: “Don’t let them being enabler.” Saya menjawab, saya sangat respect dengan mereka. Lihat mereka setia dalam jalan perkawinan. Sebagai imam, saya merasa tidak lebih baik dari mereka. Mereka dalah teman seperjalanan dalam komitmen dan kesetiaan pada pilihan hidup. “It is not enough. Raise your voice, direct us, because you are Romo kami”.

Maka saya menulis ini..
Para sahabat, keluarga-keluarga medior yang saya kasihi. Tidak ada keluarga yang sempurna. Kita tidak dibesarkan di keluarga yang sempurna. Kita juga belajar bahwa cinta dan kebahagiaan harus dipelajari lewat kesulitan, krisis dan ketidaksempurnaan. Kita semua, orangtua dan anak-anak, memiliki keterbatasan manusiawi. Kita sebuah keluarga manusia.

Paus Fransiskus menasehatkan: “In families, there are difficulties. In families we argue; in families some times plates fly; in families, the families give us headaches. And I’m not going to mention mother-in-law. But in families, there is always, always the cross. Always, because the love of God, of the Son of God, also opened for us this path. But, in the family as well, after the cross, there is the resurrection. In families, there are difficulties, but these difficulties are overcome with love. Hate doesn’t overcome any difficulty. Division of hearts doesn’t overcome any difficulty. Only love is capable of overcoming challenges. Love is a festival. Love is joy. Love is to keep moving forward” (Address in Philadelphia, September 2015). ”

There is no perfect family. We do not have perfect parents, we are not perfect, we do not marry a perfect person or have perfect children. We have complaints from each other. We disappoint each other. So there is no healthy marriage or healthy family without the exercise of forgiveness…. That is why the family must be a place of life, not of death; the territory of cure and not an illness; stage of forgiveness and not guilt. Forgiveness brings joy where sorrow has produced sadness, healing where sorrow has caused disease.”

“Saya sudah memaafkan, tetapi tidak bisa melupakan”. Hati-hati dengan ungkapan ini. Kadang kita tanpa sadar memandang pasangan sebagai pihak yang bersalah dan kita yang benar. Pasangan kita pecundang dan kita pemenang. Pasangan kita orang berdosa dan kita orang suci. Dan kita perlakukan pasangan kita seperti tawanan perang. Sedikit arguing, kita bombardir dengan kesalahan masa lalu. Pasangan kita lemas tidak berkutik. Matanya menatap lantai, tidak berani menatap matamu. Seperti pendosa yang menjalani penintensi.
Masalahnya, pasangan yang lemas tidak berkutik, tidak membuat kita bahagia.

Namun, pasangan yang memiliki mata berbinar karena memiliki kebebasan hati yang menghidupkan kita, pasangan yang cheeky menggodai kita yang menghibur kita. Pasangan yang memiliki harapan yang memotivasi kita. Pasangan yang mampu mengungkapkan emosinya yang bisa memantik api asmara. Pasangan yang takut itu tunduk taat tetapi tidak kreatif dan tidak surprise you. Ketika Paus mengatakan tidak ada family yang sempurna, itu bukan hanya merujuk ke pasangan dan anak-anakmu. Kamu juga tidak sempurna!

Lepaskan “aku” dan ‘’kamu”. Engkau dan pasanganmu adalah sebuah tim.

Take care of family, value it, it is our most precious treasure.

Saudaramu dalam Tuhan,
Fr. Petrus Suroto MSC

Image credit: https://www.huffpost.com/entry/mixed-race-families-photo-series_n_5564714

Kategori