Dikubur atau dikremasi ? (Bagian 3)

by | Oct 11, 2022 | Chaplain | 0 comments

RP. Dr. Gregorius Hertanto Dwiwibowo MSC

Ketika mendengarkan umat berdialog pro dan contra untuk memilih dikubur atau dikremasi, ternyata tidak semua argumen searah dengan ajaran Gereja Katolik. Mari kita mempelajari tuntunan dari Gereja Katolik. 

Alasan Yang Bertentangan 

Manakah alasan yang bertentangan itu? Ada banyak, beberapa di antaranya disebut dokumen Ad resurgendum cum Christo (no.7).  

Nihilisme, yaitu pandangan bahwa kematian adalah akhir dari segalanya. Paham ini memandang kematian sebagai akhir dari segalanya. Tak ada kehidupan sesudah kematian, tak ada kehidupan kekal, apalagi kebangkitan badan. Kematian merupakan penihilan seorang pribadi. Ini jelas bertentangan dengan iman kita. Dahulu banyak praktek kremasi dilatar-belakangi motivasi ini, sebagai ungkapan kehilangan iman dan perlawanan terhadap iman akan kebangkitan.

Pantheisme atau naturalisme: yang memandang bahwa setelah kematian tubuh kembali bersatu dengan alam atau kosmos. Penganut pandangan ini, dipengaruhi oleh gerakan new age, biasanya suka menaburkan abu jenazah di alam, misalnya di laut, di udara, di sela-sela karang atau di bawah tanaman tertentu, dengan maksud agar roh orang tersebut terserap oleh ibu bumi atau semesta. Ada kalanya orang juga menaruh abu di dalam souvenir (memento), di perhiasan dan benda-benda lain (sebagai kenangan atau bagaikan jimat).

Pandangan inkarnasi, yang percaya akan lingkaran-lingkaran regenerasi. Setelah kematian seseorang akan hidup lagi dalam sosok yang lain. Kremasi dipilih untuk membantu mempercepat pelepasan jiwa dari tubuh lamanya, yang sudah tidak berguna lagi. Pandangan seperti ini ada di agama Budha dan Hindu.

Pandangan kematian sebagai pembebasan. Seolah-olah roh terpenjara di dalam tubuh, sehingga kematian merupakan peristiwa pembebasan dari penjara itu. Pandangan ini membuat tubuh dipandang sebagai negatif, layaknya pandangan gnosisisme.

Selain alasan di atas, ada juga alasan psikologis: ketakutan akan penguburan premature. Ini karena adanya kasus kematian suri, dimana orang yang belum sungguh-sungguh mati terlanjur dikubur. Kremasi dipilih, karena kalaupun terjadi bahwa si mati bangkit, setidaknya penderitaannya tidak berlangsung lama dibanding ketika dikubur.

Bila kremasi dipilih karena alasan-alasan tersebut, Gereja tidak akan memberikan sakramen atau ibadat kematian menurut tata cara katolik. 

Ibadat Kematian untuk Kremasi

Pada upacara kremasi biasanya dibuat ibadat yang sama seperti saat pemakaman biasa. Penurunan peti sebagaimana dalam pemakaman biasa diganti dengan pemasukan ke dalam crematorium. Namun, demi alasan praktis bagian ini diletakkan di bagian akhir, sehingga sesudah itu crematorium ditutup. Penaburan bunga bisa dilakukan setelah peti dimasukkan di crematorium.

Perlakuan terhadap Abu

Seperti disebut di atas, Gereja melarang orang menaburkan abu di laut atau ditebar di laut, bukit, karang, atau bawah pohon dsb. Sebaliknya abu harus ditempatkan di tempat kudus yaitu dimakamkan di tempat pemakaman resmi Gereja, atau di tempat penyimpanan abu yang secara khusus didedikasikan untuk itu oleh otoritas Gereja yang sah.

Abu tidak boleh disimpan di rumah untuk menghindari berbagai macam penyimpangan. Perlakuan yang penuh hormat ini dimaksudkan agar orang yang meninggal tidak dilupakan dalam doa-doa keluarga Allah, serta untuk menghindari berbagai macam penyimpangan yang bisa terjadi.  Hanya karena alasan khusus yang berat sekali, dengan memperhatikan pertimbangan Konferensi Wali Gereja, bisa diberikan ijin oleh Uskup, untuk penyimpanan abu di rumah tinggal. Tetapi sama sekali dilarang bahwa abu itu dibagi-bagikan, atau ditempatkan di dalam perhiasan-perhiasan.

Dr. Gregorius Hertanto belajar Teologi Dogmatik di Innsbruck, Austria. Pastor Hertanto kini mengajar Teologi Dogmatik dan sekaligus Ketua Sekolah Tinggi Filsafat Seminari Pineleng, Manado. 

Kategori