Ayo Membaca Kitab Suci (6)

by | Oct 9, 2021 | Chaplain | 0 comments

KENAPA ALLAH KEJAM?

Romo, kalau saya membaca Kitab Suci Perjanjian Lama, saya sering merasa kurang nyaman karena Allah diceritakan sangat kejam. Seperti ingin membunuh Musa (Kel 4:24), membunuh anak sulung di Mesir (Kel 12: 29), mengeraskan hati Firaun (Kel 9:12). Padahal kita diajarkan bahwa Allah adalah kasih. Mohon pencerahan Romo.

Kitab Suci Perjanjian Lama (KSPL) dipercayai oleh umat Yahudi dan Kristiani sebagai  tulisan-tulisan yang terinpirasi oleh Roh Kudus. Jadi tidak bisa sesat dan salah.  Tulisan-tulisan KSPL ditulis dan disusun kembali selama berabad-abad dan mendapatkan bentuk final sampai sekitar abad 2 SM. Kita bisa mengerti, bahwa konteks peradaban pada waktu Kitab Suci ditulis pastilah berbeda dari zaman kita sekarang. Dari perspektif itu kita bisa mengerti bahwa dalam KSPL masih ada pertumpahan darah dan bahkan Allah digambarkan terlibat di dalamNya, bahwa Salomo masih memiliki ratusan istri. Dan juga Allah masih dimengerti secara tidak penuh, yaitu Allah yang terlibat didalam kekejaman. Jadi bukan Allah yang “benar-benar kejam” tetapi pemahaman penulis suci yang pandangannya masih terbatas karena dibatasi pada konteks zamannya.

Ikhtiar membunuh Musa dan mengeraskan hati Firaun

“Tetapi di tengah jalan, di suatu tempat bermalam, TUHAN bertemu dengan Musa dan berikhtiar untuk membunuhnya” (Kel 4:24). Dari penuturan Tuhan bertemu Musa di tengah jalan, pastilah Kisah ini diambil dari tulisan awal dimana pengertian tentang Allah masih belum lengkap, karena Allah digambarkan seperti dewa yang berjalan-jalan dan bertemu Musa di jalan. Konteks kisah ini adalah, Musa enggan untuk menerima tugas untuk menjadi pemimpin umat Israel keluar dari Mesir. Maka digambarkan Tuhan tidak berkenan, mengingat bahwa kasih Tuhan kepada Musa sangatlah besar. Musa semestinya sudah mati karena Firaun memerintahkan membunuh anak sulung Mesir, tetapi Tuhan menyelamatkan dia dan bahkan menempatkan Musa di Istana Firaun dan mendapatkan pendidikan terbaik selama 40 tahun. Dan 40 tahun berikut Dia menyertai sehingga dia bertemu Yitro dan menjadi menantunya. Namun ketika Tuhan meminta, dia menolak. Konteks waktu itu: anak itu kepunyaan orangtua. Menolak orangtua itu adalah tindakan dosa. Apalagi menolak Tuhan! Ada kemungkinan lain yaitu Musa membuat pelanggaran kepada Tuhan saat di Median. Dosa Musa ini (juga saat kurang percaya saat memukul batu sehingga keluar air) kelak membuat Musa tidak diperbolehkan masuk ke tanah terjanji.

Tuhan mengeraskan hati Firaun juga dipandang dalam konteks waktu itu sebagai tindakan yang adil. Bukankah Firaun sudah menganiaya umat Tuhan selama 400 tahun dan bertanggung jawab atas berbagai-bagai pembunuhan? Maka tindakan Tuhan mengeraskan hati Firaun itu tetap dievaluasi sebagai adil dalam keputusanNya, bahkan tindakan yang terpuji “Halleluya terpujilah Tuhan. Dialah yang memukul mati anak-anak sulung Mesir, baik manusia maupun hewan”. (Mz 135:1,8).

Membaca KSPL sebagai Katolik

Dalam Katekismus nomor 21 dinyatakan, “Tulisan-tulisan Perjanjian Lama ditulis untuk mempersiapkan kedatangan Kristus, Sang Penebus Dunia” (Kompedium 21). Itu berarti berbeda dari agama Yahudi, pewahyuan Allah perlahan-lahan dinyatakan tetapi nanti akan mendapatkan bentuk finalnya pada pribadi Yesus sendiri, yang adalah Allah yang menjelma menjadi manusia. Kristuslah yang bisa mengejawantahkan Allah secara sempurna! Jadi kita membaca KSPL sebagai pewahyuan Allah yang belum memadai dan masih menunggu kesempurnaanNya dalam diri Yesus. Kita membaca KSPL dari sudut pandang Perjanjian Baru. Jadi pewahyuan Allah belum selesai di KSPL, masih ada lanjutan, dan penyempurnaan, di Perjanjian Baru dimana Yesus sendiri yang menjadi pewahyuan sempurna dari Allah. Allah berinkarnasi menjadi manusia dan tinggal di antara kita.

Kalau begitu apakah tidak ada manfaatnya membaca KSPL? Tidak demikian. Membaca KSPL sangat memberkati. Membaca KSPL akan mencerahkan kita dalam perspektif yang lebih luas. Membaca Kitab Keluaran sangat mendebarkan. Namun juga dapat dilihat kasih sayang Allah yang tlaten dalam mendidik umat Israel. Perjalanan panjang di padang gurun adalah perjalanan untuk membentuk umat Allah. Allah  menerapkan ritual ketat (sampai detil ukuran-ukuran) untuk menjaga umat Israel yang masih kecil ini, karena mereka hidup di antara bangsa-bangsa lain yang waktu itu lumrah menyembah dewa-dewa. Demikian juga Allah menempatkan hukum-hukum. Pada bagian awal KSPL digambarkan bahwa Allah  memfavoritkan umat Israel, namun kemudian para nabi (misalnya nabi Yunus) mulai membuka bahwa keselamatan juga diberikan kepada bangsa-bangsa lain. Membaca sendiri KSPL dalam konteks yang luas akan sangat mengharukan: melihat Allah yang setia dan telaten dalam mendidik umatNya. Maka ketika kita membaca KSPL, kita perlu membacanya sebagai Orang Katolik! Pewahyuan tidak berhenti pada KSPL namun masih akan dilanjutkan dalam Perjanjian Baru.

Sebuah Perbandingan

Sambil menulis, saya ingat sewaktu tahun 2008-2015, menjalankan misi Tarekat sebagai Direktor di Pranovisiat MSC Pineleng. Teman-teman staf (Pastor. Julius dan Rm. Hendro), sangat “keras dan kejam” kepada peserta bina yang baru masuk di tahun pertama pembinaan sebagai biarawan MSC. Mobile phone yang mereka bawa kami sita. Mereka bangun pagi (jam 4.45) dan sudah harus di kapel jam 5.30. Saya menginspeksi kamar mereka: pintu harus dalam keadaan terbuka, selimut terlipat rapi, handuk digantung ditempat yang benar, jendela dibuka supaya udara baru masuk. Kalau mereka lalai, akan digoreng!  Belum lagi meditasi dan dipaksa tidak boleh bergerak, latihan membaca sampai dua jam, mendaki gunung, mengolah tanah rusak menjadi sangat subur dan ditanami sayuran. Bagi anak seusia mereka, yang biasa bangun siang dan bekerja dengan online, tindakan kami mungkin bisa dipandang kejam. Tapi bagi Gereja, itulah formatio. Pembentukan diri calon imam yang berkepribadian kuat. Sama seperti membangun konstruksi jalan raya, disusun lapis demi lapis. Bagian terpenting justru sering berada dalam lapisan yang tidak terlihat. Kenapa tidak langsung saja diajari Theologi? Wah, itu seperti membangun rumah di atas pasir. Tidak ada fondasinya. Jika kita lihat dari perepektif yang luas, tindakan menyita mobile phone, ‘menindas’ mereka dengan disiplin yang ketat, adalah tindakan kasih. Mereka mengerti itu kelak ketika sudah merasakan nyamannya memiliki dasar pribadi yang kokoh.

Apalagi Allah. Dia membentuk kita lapis demi lapis. Kesulitan dan airmata adalah salah satu bagiannya. Namun itu semua, pada waktunya, akan membawa kita kepada kebahagiaan yang mantul.

Saudaramu dalam Tuhan,
Fr. Petrus Suroto MSC

Kategori