Ayo Membaca Kitab Suci (4)

by | Sep 17, 2021 | Chaplain | 0 comments

Dua Cara Membaca Kitab Suci

“Melalui Kitab Suci, Tuhan berbicara kepada kita, dan melalui doa kita berbicara kepada Tuhan.”

Harjianto adalah seorang warga negara Indonesia dengan suku Jawa yang belum pernah keluar dari Jawa Tengah. Suatu hari dia mendapatkan text message WA dari temannya di Papua, bertuliskan, “Teman, kopi mana?”. Sebagai orang Jawa tentu dia berpikir yang mengirim message itu menginginkan kopi. Tapi bagi orang Papua, kopi mana itu berarti kamu mau pergi ke mana? Perhatikan bahwa antara orang Jawa dan Papua saja, ada perbedaan bentuk ungkapan. Apalagi antara kita dengan Kitab Suci Perjanjian Lama yang memiliki jarak waktu 3000-2000 tahun? Pastilah ada perbedaan bentuk-bentuk ungkapan. Itulah sebabnya dalam Dei Verbum, Gereja mengungkapkan dua cara membaca Kitab Suci. Metode Historis Kritis dan Lectio Devina.

Metode Historis Kritis

Metode ini disarankan dengan kesadaran bahwa para penulis Kitab Suci adalah orang-orang yang hidup dalam konteks budaya tertentu. Tujuan dari metode ini adalah agar pembaca mengerti dengan benar maksud dari pengarang saat menulis perikop tertentu dalam Kitab Suci. Para pengarang Kitab Suci itu diberikan inspirasi oleh Roh Kudus untuk memberi kesaksian tentang Allah namun dalam konteks budayanya masing-masing. Mereka memiliki cara merasa, berpikir, dan cara pandang yang berbeda. Misalnya pada 2000 tahun yang lalu, perbudakan dianggap hal yang wajar atau perlakuan terhadap wanita adalah nomor dua dibandingkan laki-laki. Para pengarang itu memiliki jarak ruang dan waktu dengan kita sekarang ini. Misalnya sekarang kita memandang perbudakan adalah kejahatan serius serta wanita dan pria dianggap setara dalam hak dan kewajiban.

Karena adanya jarak ruang dan waktu itulah, maka Kitab Suci perlu ditafsirkan. Pertama-tama dengan mendengar dan melihat lewat kacamata orang sezamannya, pada saat Kitab Suci ditulis. Itulah sebabnya, jika ingin belajar Exegese Kitab Suci, kita diminta untuk belajar terlebih dahulu bahasa Kitab Suci seperti Ibrani dan Yunani.  Itulah metode Historis Kritis. Kita ingin menangkap pesan Kitab Suci sebagaimana ditulis dimaksudkan dalam Kitab Suci.

Lectio Devina

Anggota Gereja Katolik harus membaca Kitab Suci (bdk DV 25), karena Kitab Suci adalah dasar hidup beriman, aktualisasi ajaran dan dasar tingkah laku kristiani. Namun bagaimana dengan kita yang kurang begitu memiliki pemahaman tentang dunia Kitab Suci? Kemiskinan kita dalam pengetahuan tentang Kitab Suci tidak boleh menjadi hambatan untuk membaca Kitab Suci. Karena Allah Roh Kudus akan membimbing kita dan menganugerahi dengan pengetahuan. Maka kepada kita diajarkan Lectio Devina.

Meskipun Lectio berarti membaca, namun metode ini bukan sekedar membaca. Lectio Devina memiliki empat tahap: membaca (lectio), meditasi (meditatio), berdoa (oratio) dan kontemplasi (contemplatio).

  1. Lectio atau Membaca di sini bukan sekedar membaca tulisan dan ingin mengerti, melainkan proses untuk membuka hati kita dan membiarkan Kristus berbicara kepada kita. Kita tidak sekedar ingin mengerti, namun membiarkan Kristus Sang Sabda menyentuh hati kita. Maka perikope Kitab Suci dibaca perlahan dan bahkan berulang-ulang misalnya tiga kali. Dan sambil membaca kita dipenuhi  kesadaran bahwa Allah sementara bersabda sekarang.    
         
  2. Meditatio atau Meditasi berarti mengulangi kata-kata ataupun frase yang menarik perhatian kita. Ini bukan memikirkan atau menelaah teks, tetapi kita menyerahkan diri kepada pimpinan Allah saat kita merenungkan kata-kata atau frase tersebut. Dalam bahasa Jawa: necep, neges atau mencecap dan menangkap makna.  Sabda itu akan menembus batin kita dan menjadi sapaan personal Allah kepada kita.
  3. Berdoa artinya tanggapan hati kita terhadap sapaan Alah. Setelah dipenuhi dengan Sabda yang menyelematkan, kita memberi tanggapan. Tanggapan itu adalah apa yang muncul dalam hati setelah kita merenungkan Sabda. Ungkapannya bisa berupa syukur, peneguhan, pujian dan bahkan pertobatan.
  4. Kontemplasi atau contemplatio berarti persatuan kita dengan Tuhan. Kita merasa bersatu dengan Tuhan.  Kita senantiasa merasa dalam hadiratnya, kita memberikan diri dan kita merasa dimiliki oleh Allah yang mengasihi kita. Hal ini bukan hanya pada saat kita berdoa, tetapi di saat-saat lainnya, setelah berdoa kita masih merasa kebersatuan kita dengan Tuhan.

Bagaimana Jika kita salah Mengerti?

Beberapa Umat mengungkapkan bahwa mereka takut membaca Kitab Suci karena takut salah mengerti. Mungkinkah kita bisa salah mengerti?

Di Filipina ada lagu yang sangat terkenal, judulnya “Hindi kita Malilimutan”, yang artinya Kita tidak akan melupakanmu. Lagu itu sebagian syairnya berbunyi kira-kira:  Aku tidak akan melupakanmu, engkau di telapak tanganku. Mungkinkah seorang ibu melupakan anak yang dilahirkannya? Waktu saya tinggal di Filipina, tahun 2003-2006, kalau ada orang Filipina yang meninggal, keluarga belum akan merasa tenang jika belum dinyanyikan lagu Hindi Kita Malilimutan.

Menariknya, penulis lagu itu, yaitu Pater Fransesko Manuling SJ, doktor dalam bidang theologi sistematis dan komposer lagu mengatakan saat saya mengikuti kuliahnya, bahwa  dia menulis lagu itu waktu dia masih kecil. Dia pulang ke rumah dan ternyata rumahnya kosong. Rupanya Ibunya pergi ke pasar. Dan di bawah kolong meja dia menulis lagu itu, saya tidak akan melupakanmu. Yang ada dipikirannya adalah dia yakin ibunya pasti tidak akan lupa membelikan dia oleh-oleh. Namun Umat Filipina merasakan bahwa Tuhan tidak akan melupakan mereka. Jadi di sini sebenarnya ada beda maksud antara penulis dan penerimaan umat.  Dan Pastor Manuling mengatakan, ya saya tidak apa-apa walaupun itu bukanlah maksud asli saya, asalkan membantu umat lebih dekat dengan Tuhan. Tuhan memakai saya untuk maksud yang lebih tinggi.

Jadi mari percaya, Tuhan menyertaimu saat membaca Kitab Suci. Bisa dengan metode historis kritis maupun lectio devina. Tidak perlu pintar dulu, mulai saja dengan membaca yang teliti.

Saudaramu dalam Tuhan,
Pst. Petrus Suroto MSC

Kategori