Setelah 25 tahun menikah (2)

by | May 7, 2022 | Chaplain | 0 comments

Dalam tulisan sebelumnya, dipaparkan bahwa setelah 25 tahun menikah, umumnya anak-anak sudah mulai mandiri. Dan terjadi perubahan dan bahkan krisis dalam relasi suami-istri dalam keluarga. Berikut ini lanjutannya:

Menyadari jika terjadi Krisis

Hal pertama yang diperlukan untuk membangun kebahagiaan pada usia perkawinan 25 tahun ini justru menyadari bahwa “bisa” terjadi krisis dalam kehidupan berkeluarga dalam fase ini. Tetapi krisis tidak perlu dimengerti secara negatif. Krisis adalah sebuah pijakan untuk bertumbuh. Seperti orang yang memanjat anak tangga untuk naik ke tingkat yang lebih tinggi. Atau seperti orang yang bertambah besar dan memerlukan baju dengan ukuran yang baru. Krisis adalah undangan untuk bertumbuh.

Apakah suami istri “pasti” mengalami krisis? Jawabannya adalah iya, tetapi besar kecilnya berbeda. Sebagian besar suami-istrti bisa melalui tahapan ini dengan sangat mudah dan bahkan tidak menyadarinya. Terutama 1) Pasangan yang sudah berhasil membangun sistem yang nyaman untuk pasutri. “Mereka tidak lagi dua melainkan satu” (Matius 19:6). 2) Pasutri yang sudah bisa “menerima dan memahami”. Maksudnya, sebenarnya masih ada sikap atau hal dari pasangan yang tidak dia setujui. Tetapi bisa toleran, dan bahkan sampai pada acceptance and understanding.

Nah, yang mengalami kesulitan besar dalam fase ini adalah suami istri yang polanya salah satu mengalah, namun sebenarnya tidak menerima sistem yang ada di keluarga. Biasanya mereka mengatakan “demi anak-anak”. Mereka umumnya sangat terfokus pada anak-anak. Dan kurang bertumbuh dalam komunikasi suami-istri. Yang lain adalah perilaku “silent for harmony”. Maksudnya salah satu pasangan selalu bersikap menghindari konflik sehingga lama kelamaan bertumpuk.

Menghadapi Krisis dengan damai

Dalam menghadapi krisis ini, suami-istri jangan menghindar. Tetapi menghadapi dan menyelaminya. Komunikasi yang mendalam sangat diperlukan, walaupun umumnya tidak mudah dalam fase ini untuk berkomunikasi secara mendalam. Jika komunikasi tidak mudah, itu tanda mereka memerlukan konseling perkawinan.

Hal yang perlu dihindari dalam menghadapi krisis adalah membangun “kubu”. Misalnya suami atau istri membujuk anak-anak untuk ada di pihaknya untuk melawan pasangannya. Oh, get real! Hidup berkeluarga bukan perang. Dan pasanganmu bukan musuh yang harus ditundukkan. Namun sikap membangun kubu ini sering ada di level tidak sadar. Membangun kubu akan membuat krisis semakin lama untuk dilalui.

Strategi Suami: Amunisi Kesabaran

Diperlukan tambahan amunisi kesabaran dalam tahap ini. Ketika istri uring-uringan dan marah-marah, sadari bahwa wanita yang engkau sayangi kini memiliki cara berpikir yang berbeda. Istri yang tadinya bersikap menurut karena dipandu oleh naluri untuk menjaga dan demi kebaikan anak-anaknya, sekarang berubah. Ketika fase mengasuh anak sudah selesai, maka otak yang merasa ini akan mengingat begitu banyak perasaan. Perasaan negatif seperti perasaan tertekan, perasaan diperlakukan tidak adil, karier yang tidak berkembang: muncul liar dalam perasaannya.

Menekan istri supaya lebih taat, bukanlah pilihan yang terbaik. Menemani dengan damai dan confidence, akan mempercepat krisis ini. Ingatlah bahwa sikap istri yang seperti “memberontak” bukanlah sikap permanen. Ketika dia sudah menceritakan kegundahannya, kemarahannya, istri akan kembali tenang. Perasaannya sudah terurai. Dia akan tenang dan bertumbuh, seperti pohon yang bertunas di musim semi.

Strategi Istri: Santai dan Rileks

Istri juga perlu untuk lebih rileks. Engkau butuh waktu. Waktu akan mengembalikan desakan-desakan perasaan. Kadang kamu perlu sahabat untuk mendengarkan dari sisi-mu. Juga ketika suami marah-marah. Dia tidak sungguh marah. Dia hanya tidak ingin kehilangan cinta kasih anda. Tatap matanya dan katakan dengan santai “Kau itu kenapa? Aku tetap sayang kamu…..”.

Ketika perasaan-perasaan sudah diakomodasi dan menjadi lebih tenang, pasutri bisa melangkah ke tahap berikutnya. (Bersambung)

Kategori