Renungan 19 April 2020

by | Apr 18, 2020 | Chaplain | 0 comments

Refleksi Pandemic Coronavirus

Tahun Yobel?

Di masa Pandemic Covid-19 ini, banyak orang yang mukanya muram. Wajahnya nampak tidak bahagia. “Quisce sibi proximus” kata orang Roma kuno, setiap orang dekat dengan dirinya sendiri. Maka apa yang dia rasakan terekspresikan dari wajahnya. Perasaan kecewa tidak bisa disembunyikan dari wajahnya. Memang masa-masa pandemic ini terasa sangat berat. Mungkin kita bisa menerima dan melalui ini semua, dan bahkan memberi makna dan bobot berbeda jika kita memandangnya dengan cara yang berbeda. Yaitu sebagai tahun yobel.

“Masa menarik diri’

Wabah seperti Corona ini tidaklah baru pertama kali terjadi. Umat manusia pernah mengalami black death yang membunuh hampir 1 dari 3 orang Eropa pada abad ke 14. Demikian juga flu Spanyol selepas perang dunia pertama. Walau tidak tertulsi dalam sejarah besar umat manusia, diceritakan juga pada zaman kerajaan di Nusantara sudah dikenal kata pagebluk, yang artinya penyakit menular yang terjadi. Dan cara tepat menghadapinya adalah dengan berdiam menarik diri.

Kitab Suci juga bersaksi tentang pentingnya tahun Yobel atau dalam bahasa latin yubilium. “Kamu harus menguduskan tahun yang kelima puluh, dan memaklumkan kebebasan di negeri itu bagi segenap penduduknya. Itu harus menjadi tahun Yobel bagimu, dan kamu harus masing-masing pulang ke tanah miliknya dan kepada kaumnya.” (Imamat 25:10)  Dalam masa pandemic ini juga kita kembali ke rumah kita. Rumah dalam arti fisik: rumah. Namun juga keluarga dan hati kita. Kita yang sering tidak lagi akrab dengan hati kita diajak untuk kembali kepada “rumah hati” kita dan mengakrabinya.

Masa pandemic ini juga menjadi saat bagi banyak orang, terutama yang tinggal di desa untuk menghargai lagi bumi. “Tahun yang kelima puluh itu harus menjadi tahun Yobel bagimu, jangan kamu menabur, dan apa yang tumbuh sendiri dalam tahun itu jangan kamu tuai, dan pokok anggur yang tidak dirantingi jangan kamu petik buahnya.” (Imamat 25:11)  Saya yang dibesarkan di desa bisa merasakan pentingnya bumi berisitirahat. Waktu saya kecil, para petani membiarkan jerami membusuk dan menjadi pupuk bagi pertanian. Dan jerami yang membusuk itu menjadi tempat yang sangat baik untuk tinggalnya banyak belut. Maka ketika petani mencangkul, pulang membawa banyak belut. Dan belut itu mengundang kawanan bangau. Ada ekosostem yang bekerja. Sehingga pedesaan tampak indah dan natural. Tapi kini, dengan tehnologi, persawahan digenjot untuk panen tiga kali setahun. Maka jerami diganti dengan pupuk kimia yang seperti memaksa tanah untuk tidak pernah berhenti berproduksi dan tidak ada waktu berisitirahat. Saudara-saudara makluk lain seperti burung dan binatang lain mengalami kesulitan karena manusia ingin mendapatkan semua. Kini dengan adanya pandemic, teman-teman yang tinggal di pedesaan bercerita bahwa burung-burung merasakan kebebasan. Jangan-jangan sekarang ini bumi kita sedang memulihkan diri dari kesakita akibat ulah manusia?

Pada masa pandemic ini, landlord dan para tenant juga dipaksa untuk bernegoisasi ulang dan memberi banyak diskon. Hal ini mengajak kita berefleksi bahwa semua yang ada ini bukan milik kita, tetapi kepunyaan Allah. “Tanah jangan dijual mutlak, karena Akulah pemilik tanah itu, sedang kamu adalah orang asing dan pendatang bagi-Ku.” (Imamat 25:23). Di hadapan Tuhan kita ini adalah sekedar administratior, pengatur dari harta milik Tuhan. Maka kita perlu mengarahkan kita kepada maksud-maksud Tuhan.

Tahun Sabat

Dalam Gereja Katholik, dikenal tahun sabat bagi para imam. Pada tahun sabat itu selama kurang lebih setahun atau kurang dari waktu itu, seorang imam tidak bekerja. Dia menyegarkan lagi

hidupnya lewat studi dan refleksi. Dia menyergarkan lagi tujuan akhir kehidupannya dan pelayanannya. Namun banyak para imam tidak lagi diberi atau tidak ada waktu untuk tahun sabat ini. Termasuk saya, belum pernah diberikan atau meminta tahun sabat. Mungkinkah ini paksaan agar saya menjalani tahun sabat? Tahun di mana saya membiarkan diri disegarkan oleh Tuhan?

Jangan Lupa Bahagia

Melihat dari perspektif yang berbeda membuat kita bisa lebih tenang. Kita tidak perlu menyibukan diri dulu. Membiarkan diri disegarkan oleh Tuhan. Mengakrapi diri. Sekaligus saat yang baik untuk merenung kembali bagaimana seharusnya kita mengatur hidup kita, keuangan, tabungan dan prioritas kita.

Uskup Agung Semarang yang dalam video youtube terlihat menyapu halaman dan berpesan, jangan lupa bahagia, pada saat pandemic corona ini. Kita tentu bisa bahagia kalau kita iklas berproses diri dan menghayati saat-saat ini justru sebagai tahun Yobel. Tahun pemulihan dan penyegaran.

Catatan: Saya tidak bermaksud mengatakan pandemic ini sebagai tahun yobel, tetapi mengajak kita menghayati sebagai tahun yobel dalam arti membiarkan diri kita disegarkan dan dipulihkan oleh Tuhan.

Saudaramu dalam Tuhan,

Fr. Petrus Suroto MSC

Kategori