Hidup segar setelah COVID (1)

by | Nov 5, 2021 | Chaplain | 0 comments

Kita akan segera memasuki masa normal setelah kira-kira dua tahun kita berjuang di tengah-tengah pandemic Covid-19. Dari sisi Spiritualitas Kristiani, apa yang perlu kita lakukan? Mari kita mulai dengan merefleksikan pengalaman kita dan kemudian kita menegaskan arah sebagai umat beriman.

Covid itu Melukai kita

Di sadari atau tidak, diakui atau diingkari, Covid telah meninggalkan luka. Walaupun kita tidak terinfeksi, tetapi tetap saja kita terdampak walau secara tidak secara langsung. Yang saya alami:  teman-teman dan saya harus membatalkan liburan, membatalkan perjalanan dan rekreasi. Saya juga kehilangan orang-orang yang saya sayangi. Bukan semua karena covid, namun sebagai akibat sekunder. Misalnya sahabat yang biasa cuci darah 2 kali seminggu, karena kasus covid rumah sakit penuh dan kemudian pelayanan cuci darah tidak terlayani dengan baik. Selain itu juga pengalaman isolasi di kamar. Isolasi di kamar ternyata meningkatkan kekuatiran, perasaan sedih. Bekerja di rumah juga menyebabkan ketegangan-ketegangan tertentu. Sering kita tidak menyadari stress itu. Namun jika kita sudah merasakan perut tidak nyaman, kepala pening,  itu berarti kita telah mengalami stress dan bahkan dipresi.

Covid itu membuka Pintu berkat

Namun di pihak lain, covid juga membuka pintu berkat. (Saya tidak mengatakan covid itu berkat, tetapi bisa membuka pintu berkat). Pengalaman lockdown membuat kita berhenti dari aktivitas. Kemudian kita bisa menyadari apa yang terjadi dalam perasaan dan hati  yang biasanya tidak saya sadari saat situasi normal. Kemudian jika kita mampu tenang untuk mendengarkan, kita akan bisa memisahkan lapis demi lapis. Mulai dari perasaan yang sangat dominan seperti perasaan bosan, khawatir, takut, dan frustasi. Namun ada juga lapisan yang lebih dalam, misalnya kesadaran bahwa ternyata setelah kita tidak ke mana-mana, baru kita sadari bahwa kita memiliki keluarga besar yang hangat dan supportive. Kita juga memiliki komunitas, seperti CIC Sydney yang bisa membuat kita berdoa bersama,  dan saling mendukung dalam hidup rohani. Gerejea yang membuat kita memiliki keluarga besar, lingkaran teman dan sahabat yang membuat kita merasa tidak sendirian.

Bahkan kita bisa membuka refleksi yang lebih dalam lagi: Apa arti dari semua ini? Mengapa saya hidup? Untuk apa saya diciptakan?

Realitas Hidup dalam Pandangan Spiritualitas

Hidup adalah pemberian. Hidup adalah anugerah. Tidak ada satupun diantara kita yang merencanakan untuk hidup. Tahu-tahu kita “ada”. Kenapa saya bisa ada? Kenapa saya lahir sebagai orang Indonesia dan bukan Rusia? Ini semua adalah misteri kehidupan.

  1. Hidup adalah Perjalanan

Hidup manusia adalah sebuah perjalanan. Dari kita diciptakaan dan diakhiri dengan hidup dalam kebahagiaan di Surga

Dan hidup kita selalu diwarnai dua hal yang datang silih berganti. Konsolasi: yaitu pengalaman akan kebahagiaan yang menghibur hidup kita. Dan desolasi, pengalaman akan ketidak bahagiaan yang juga mewarnai kehidupan kita. Konsolasi dan desolasi datang silih berganti seperti cuaca cerah dan mendung.

Selain itu kita juga mengalami berbagai macam tantangan atau tahap-tahap pertumbuhan. Erik H. Erikson secara klasik membagi tahap-tahap pertumbuhan itu dalam 8 tahap: masa bayi, masa kanak-kanak, masa bermain, masa di sekolah dasar, masa remaja, masa dewasa muda, masa dewasa dan akhirnya masa tua. Setiap tahap itu, kita seperti ditantang untuk “naik kelas” lewat proses yang namanya krisis.

Namun ada juga tantangan yang berhubungan dengan situasi atau konteks dalam hidup. Misalnya saat mengalami bencana, kerusuhan, pandemi (termasuk Covid-19), kehilangan pekerjaan, pindah rumah, sakit dan lain-lain. Situasi ini membuat kita mengalami krisis: saat untuk adaptasi dengan situasi yang baru.

Menyadari bahwa hidup itu adalah sebuah perjalanan yang diwarnai konsolasi dan desolasi, apakah yang kita perlukan di dalam hidup setelah lockdown? Tulisan ini akan bersambung pada bagian kedua Minggu depan.

Saudaramu dalam Tuhan,
Fr. Petrus Suroto MSC

Kategori