Gift and challenge sebagai migran

by | Apr 1, 2022 | Chaplain | 0 comments

Seminar berjudul ‘Intercultural Clergy – Gift and Challenge for the Presbyterate” yang saya ikuti, ternyata sangat menyentuh. Selepas SD, saya masuk ke SMP yang jarak nya 17 KM dari rumah, dan bertemu dengan orang orang baru. Umur 16, saya tinggal di asrama seminari Mertoyudan yang murid muridnya berasal dari hampir seluruh Indonesia. Umur 20 saya tinggal di Manado, umur 33 saya tinggal di Filipina. Dan kini saya tinggal di Australia. Saya adalah seorang migran.

Seminar itu menyadarkan saya bahwa menjadi migran tidaklah mudah. Pertama, Separation Stress. Setiap kita meninggalkan tempat dan berpindah ke tempat yang baru, kita mengalami stress berpisah dengan tempat yang sudah menjadi rumah, dan orang-orang yang kita kenal.

Yang ke 2, Environmental Stress. Amigdala, sebuah element dalam otak kita, akan mencium sesuatu yang baru di tempat yang baru. Hal itu membuat otak menjadi waspada. Menjadi susah tidur, merasa lelah dan stress, otak bekerja dua kali lipat lebih berat.

Yang ke 3, Cultural Shock. Kita akan mengalami hal yang baru terutama dengan bahasa yang baru. Kita tidak mudah mengekspresikan perasaan. Demikian juga menghadapi kultur yang berbeda. Satu teman dari India butuh waktu 5 tahun untuk mengganti menyebut Uskup dari ‘My Lord’ menjadi Bishop. Dan ketika Uskup tadi memintanya untuk memanggil nama depannya saja, dia menyatakan tidak sanggup.

Dalam urusan budaya ini, kita bisa terjebak untuk selalu membandingkan budaya kita dengan budaya baru di tempat kita tinggal. Kita sering terjebak untuk membanding-bandingkan antara budaya kita dengan budaya orang lain. Tetapi hal ini membuat orang lain jengkel. Terutama di tahun pertama, ada begitu banyak hal yang membingungkan dan sering membuat kita merasa tidak berguna dan tidak bisa fit-in. Bahkan setelah 20 tahun tinggal di tempat yang baru, banyak umat masih berjuang untuk penyesuaian ini. Salah satu indikasi adalah selalu mengikuti berita hanya dari negara asal dan tidak mengerti situasi politik dalam negeri yang baru.

Bagaimana pengalaman anda sendiri sebagai orang yang berpindah ke Australia?
‘Berbuah di tempat kamu ditanam’ adalah nasehat yang baik. Dimana bumi dipijak di situ langit di junjung adalah nasehat yang lain. Itu juga memberi arahan pada kita. Kita bersifat curious (ingin tau) tetapi respek dan tetap menjadi diri kita sendiri karena tidak ada kultur yang sempurna. Makanan, kebiasaan, tata cara yang kita bawa juga memberi sumbangsih di tempat yang baru. Terutama kita membawa api iman akan Tuhan yang di tempat baru ini hampir padam.

Pengumuman Perkawinan:
Krisna Adiputra Lie (Catholic) dengan Reyabel Gabrielle Villanueva (Catholic). Pengumuan 3.
Bagi yang mengetahui jika ada halangan perkawinan, mohon memberitahu Chaplain CIC.

Kategori