Site icon CIC Sydney

DIAMBIL, DIANGKAT DAN DIBAGIKAN (Syukur Kau telah memilihku, ya Tuhan)

Umat CIC ytk,

                 Minta ijin ya, Edisi bulletin minggu ini rada special dan sedikit panjang. Kenapa? Dalam rangka 25th imamat saya, saya membuat refleksi khusus untuk umat CIC. Selamat menyimak dan merenung.

Saya Bahagia sebagai Imamnya Kristus

                Umat selalu tanya: “Romo happy gak sebagai seorang romo?” Dan jawaban saya selalu sama dan sangat menyakinkan: “Saya BAHAGIA dengan imamat saya!” itulah yang saya rasakan sebagai seorang imam: “Saya BAHAGIA sebagai seorang imam dan itu yang selalu saya ekspresikan dalam setiap gerak dan hidup saya.” Kebahagiaan sebagai seorang imam menjadi latarbelakang dan dasar pelayanan saya selama ini. Secara sederhana saya menghayati seluruh pelayanan saya harus mengalir dari hati yang BAHAGIA, BAHAGIA karena saya imam dan BAHAGIA karena saya hidup sebagai selibater. BAHAGIA karena pilihan hidup, bukan karena materi atau kesenangan sesaat.

                Saat saya merenungkan perjalanan imamat saya ini, betapa beruntungnya diri saya dapat mengenal cinta Kristus lebih dalam dan merasakan kasih-Nya melalui ‘via dolorosa’ yg membahagiakan ini,  melalu jalan imamat ini. Saat saya berdiam diri dalam hening, membayangkan mengapa Dia mau dan rela menyelamatkan diri saya dengan pengorbanan-Nya di kayu salib, maka sudah selayaknya saya bersyukur selalu, Dia ada dalam hidup saya. Karena itu, SAYA BAHAGIA sebagai imamnya Kristus.

                Kadang-kadang muncul godaan dari umat: “Romo ganteng, romo cakep, romo banyak bakat dan talenta (kadang-kadang umat berlebihan khan? ), kenapa harus jadi romo? Gak rugi mo?” Untung saya sadar diri, pertanyaan umat itu hanyalah pancingan bagi saya untuk mawas diri dan tidak jumawa. Kalau saya sampai pada titik seperti saat ini, semua bukan  karena prestasi saya, bukan karena fasih lidah saya, bukan karena kekayaan saya, bukan karena kecakapan saya, bukan karena baik rupa saya, bukan karena kelebihan saya tetapi saya dipanggil-Nya dan saya dipakai-Nya, saya mendapat segalanya dan mempunyai semuanya,  karena ANUGERAH-NYA. Karena itu, sudah selayaknya SAYA BAHAGIA sebagai imamnya Kristus. Pertanyaan yg menggoda dari umat,  menantang dan memotivasi saya untuk membuktikan bahwa pilihan saya sebagai seorang imam adalah PILIHAN TERBAIK SAYA. Kadang umat gagal paham dan mengerti mengapa hati saya tercekam dan terpesona dengan Hati-Nya, tetapi saya yakin suatu saat nanti dan sekarang semakin terbukti bahwa pilihan ini adalah pilihan terbaik saya, dengan cara: “Saya hadir kapan pun dan di mana pun sebagai seorang imam yang Bahagia. Kehadiran saya menjadi alat atau instrument untuk menyampaikan warta sukacita surgawi, kehadiran saya menjadi wujud nyata ‘Kabar gembira” Tuhan bagi umat-Nya. Saya sebagai imam harus bisa menjadi “Injil yang hidup” bagi sesama.                 “Lihatlah, aku Bahagia sebagai seorang imam!” Ungkapan ini menghantar saya pada penghayatan bahwa imamat harus disyukuri dan dibagikan. Tidak ada alasan untuk mengeluh atas pilihan hidup saya ini. Justru sebaliknya ada 1001 macam alasan untuk bersyukur. Mengeluh cenderung membawa aura negatif dalam kehidupan seorang imam.  Taburan jamur keluhan akan mengiringi berseminya kecambah tuntutan-tuntutan yg seringkali tidak masuk akal di kalangan para imam. Begitu ragam syarat yg disampaikan Ketika seorang imam diminta oleh pimpinan untuk pindah tugas perutusan, baik itu syarat yang sederhana ataupun syarat yang berbau sangat rohaniah dan spiritual, tetapi intinya hanyalah satu ungkapan dari KETIDAKBAHAGIAAN SESEORANG sebagai seorang imam.  Raut mukanya cenderung dingin sedingin gunung es di Antartika; wajahnya kecut sekecut asam cuka; tatapannya memudar sepudar lampu 5 watt. Singkatnya, dia imam yang tidak bahagia, hidupnya teramat jauh dari keceriaan. Wajahnya memancarkan keletihan dan beban berat sebagai seorang yang selibat. Sebaliknya bersyukur menghantar kita pada sukacita, sehingga kehadiran saya benar-benar memberi warna sukacita, kehadiran saya membawa Hati-Nya yang dipenuhi berkat sukacita. Nihil tuntutan dan keluhan. Sebaliknya hari-hari dipenuhi dengan sukacita dan syukur. Hal ini hanya mungkin terjadi kalau kita benar-benar BAHAGIA dengan pilihan hidup kita. Saya bersyukur diijinkan untuk mencicipi ‘secuil’ kemuliaan Kristus di atas gunung Tabor dengan merasakan sukacita surgawi sebagai hamba yang taat dan setia. Kristus BAHAGIA dengan  pilihan-Nya sebagai Anak Manusia dan saya BAHAGIA dengan pilihan saya sebagai imamnya Kristus.

Life is giving sebagai ‘way of life’-saya

                Selama menghayati hidup imamat saya, saya sangat diinspirasi oleh 3 bacaan Injil yang menjadi favorit saya, yaitu Pertama: Yoh 3: 16-17 yang mengungkapkan isi hati dan tujuan Allah “Karena begitu besar kasihAllah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakanAnak-Nyayang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal. Sebab Allah mengutus Anak-Nya ke dalam duniabukan untuk menghakimi dunia, melainkan untuk menyelamatkannya oleh Dia.”  Kedua: Yoh 15:13 yang mengungkapkan standar mengikuti jalan-Nya “Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya” . Ketiga: Luk 10: 30-37 yang menceritakan tentang kisah Orang Samaria yang baik hati.

                Sebagai seorang imam, teristimewa imam MSC, injil Yoh 3: 16-17 menjadi dasar dan landasan utamaperutusan saya. Saya begitu yakin betapa besarnya kasih Bapa yang tercurah ke dalam dunia, saya begitu percaya akan cinta Kristus yang nyata dalam pengorbanan-Nya, dan saya begitu rindu dampingan Roh Kudus untuk menuntun langkah saya sebagai seorang imam untuk menyelamatkan domba-domba yang Kristus percayakan kepada saya . Maka, ketika saya ditahbiskan, saya memutuskan untuk mengambil cara dan pilihan Kristus dalam hidup saya dengan menjadi sahabat-Nya dan saya beruntung, lamaran saya sebagai sahabat-Nya diterima dan Dia menjadi sahabat saya: ”Tidak ada kasih yang lebih besar daripada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya.”  Role-model dan cara hidup Kristus -“life is giving”- menjadi –“way of life”- yang secara sadar saya pilih, saya hidupi dan sekaligus saya wartakan dalam perutusan saya, karena saya yakin the secret of happiness is giving dan ‘perumpamaan tentang Orang Samaria yang baik hati’ menjadi undangan Bapa yang selalu up to date untuk menjawab kebutuhan jaman now. (Bdk. dengan isi Ensiklik terbaru dari Paus Fransiskus yg disahkan pada tgl 03 Oktober 2020: Fratelli Tutti: Semua Saudara)

“Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberikan kekuatan kepadaku.” (Fil 4:13)

                Covid19 telah merubah wajah dunia. Dunia sepertinya mengalami RECYCLING: perubahan terjadi di berbagai level kehidupan. Bahkan, ada beberapa negara yg harus mengalami kebangkrutan sebagai dampak dari pandemic covid19. Betapa dahsyatnya dampak yg ditimbulkan dari pandemic ini, tak terkecuali bangsa Indonesia.

                BulanMaret 2020 merupakan awal bangsa Indonesia dinyatakan sebagai salah satu negara yang terpapar pandemi covid19. Jutaan orang terpapar dan ratusan ribu orang meninggal karena keganasan virus covid19. Saya adalah satu satu korbannya. Tgl 12 Desember 2020 saya memberkati nikah ekuimene di Gereja Kristen Indonesia di Tanah Abang. Dari situlah saya terpapar covid19. Tepatnya tgl 18 Desember saya dinyatakan positif terpapar dan langsung opname di RS Carolus Jakarta. Tgl 20 Desember dini hari saya masuk ICU dan langsung koma. Sebuah proses yang amat sangat cepat, hanya dalam 2 hari saya collaps dan langsung dalam kondisi koma. Di saat itulah, dalam refleksi saya setelah disembuhkan dari covid19, saya merasakan ketergantungan yang sangat kuat terhadap kuasa Allah. Hidup saya benar-benar ada dalam kuasa-Nya. Dalam kondisi koma, I do nothing: hidup saya benar-benar tergantung dari kebaikan para dokter dan perawat, tergantung dari doa-doa keluarga dan umat yang menyayangi saya dan tergantung dari keputusan Tuhan. Saya benar-benar tak berdaya dan seluruh apa yang saya punya: popularitas, kuasa dan harta tidak ada nilainya samasekali.  6 hari (dari tgl 20-26 Desember 2020) hidup saya benar-benar ada di tangan mereka, saya bukan tuan atas hidup saya. Siapakah aku ini? Hidup saya ada karena Tuhan dan orang lain. Saya tidak bisa menyombongkan diri lagi, saya tidak bisa mengatakan: “yang menentukan hidup saya adalah saya”. Saya tidak berani lagi bermegah atas nama diri saya sendiri. Hanya dalam Tuhanlah saya bisa bermegah diri. Motto tahbisan saya begitu hidup saat itu:“Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia yang memberikan kekuatan kepadaku.” (Fil 4:13) . Dialah kekuatan yang sesungguhnya bagi hidup dan panggilan saya.

                Kesembuhan saya dari covid19 mengubah cara pandang atau mindset saya dalam menghayati hidup dan panggilan imamat saya. Setelah siuman dari koma, bukan berarti selanjutnya akan lebih mudah. Saya masih mengalami masa kritis, bahkan sampai pada titik puncak kritis, yaitu tgl 31 Desember, perjuangan antara hidup dan mati. Dan saat itu, ternyata Tuhan menyatakan diri saya menang atas maut. Kehidupan kembali dianugerahkan kepada saya. Inilah second life yang saya alami. Puji Tuhan banget, Praise The Lord! Saya diberi kesempatan oleh Kristus untuk hidup dan saya harus menjadikan hidup saya berkat untuk sesama dan memancarkan kemuliaan Allah. Saya sangat percaya, ketika Bapa memutuskan “CUKUP” untuk hidup seseorang, maka tidak ada seseorang dan sesuatu yang bisa menghalangi keputusan Bapa, tetapi jikalau Bapa ingin MENYEMBUHKAN kita, tidak ada hal yang mustahil bagi Bapa, mukijzat tetap ada dan akan selalu ada.

                Kesembuhan saya dari covid19 meneguhkan panggilan saya sebagai imam MSC. Sebagai imamnya Kristus, saya diminta untuk mewartakan realita yg tidak bisa disangkal: Pertama: Allah ada dan hidup, Dia benar-benar hidup di antara kita (Tell the world: I’m alive!); Kedua: Kekuatan cinta Allah (The power of God’s Love becomes the foundation of a priest’s mission) harus menjadi dasar dan landasan perutusan kita sebagai imam; Ketiga: Menjadi imam berarti menjadi perpanjangan wajah kerahiman Allah ( A priest is an extension of the face of God’s Mercy). Tiga perutusan inilah yang sekarang akan menjadi prioritas perutusan saya sebagai seorang imam MSC dan momen perayaan 25th imamat  saya ini menandai komitmen saya sebagai Chaplain to Catholic Indonesian Community (CIC) Sydney yg siap DIAMBIL, DIANGKAT dan DIBAGIKAN sebagaimana KRISTUS SANG IMAM AGUNG.

                Terimakasih Allah Bapa, Engkau telah memilih saya menjadi salah satu imamnya Kristus dan menuntun saya hingga sampai pada 25th imamat ini.  Terimakasih Allah Putera, Engkau telah menjadi Guru dan Role model bagi saya dalam menjalani perutusan sebagai seorang imam yang ambil bagian dalam Imamat Agung-Mu. Terimakasih Allah Roh Kudus, Engkau setia menuntun saya dan mencurahkan spirit yang tidak pernah kunjung padam untuk membakar gairah imamat saya agar tetap on fire. Terimakasih Tarekat Missionaris Hati Kudus Yesus (MSC), engkau telah menjadi tempat persemaian (seminarium) yang subur bagi panggilan saya dan membentuk saya hingga menjadi pribadi yang seperti saat ini. Terimakasih keluarga besar saya: RA Soekardi Hadisoemitro, lewat kalian saya diperkenalkan menjadi murid Kristus (menjadi Katolik) dan lewat kalian saya diperkenankan merasakan cinta Allah. Terimakasih teman-teman seangkatan di Novisiat Sananta Sela Karanganyar (Jateng) dan teman-teman se-tahbisan, all of you sudah turut membentuk HANDOKO yang seperti saat ini. The last but not least, terimakasih umat di mana pun anda berada (baik yg di Indonesia, di Australia, di Singapure di Canada maupun USA), tanpa kalian saya bukan siapa-siapa (Without all of you, I’m nothing). Karena kalian-lah, hidup dan imamat saya menjadi berarti.

Berkah Dalem,

Fr. Agustinus Handoko MSC
Chaplain to the Indonesian Community
193 Avoca St, Randwick NSW 2031

Exit mobile version